OPINI - Pilpres 2019, capres hanya dua. Jokowi dan Prabowo. Jokowi dapat angka 55, 50%, Prabowo dapat 44, 50%. Total 100%.
Pilpres 2024 Prabowo didukung full oleh Jokowi. Gibran, putra Jokowi jadi cawapres Prabowo. Logikanya, Prabowo-Gibran dapat 100%. Karena suara Jokowi dilimpahkan ke paslon ini. Tapi faktanya, elektabilitas Prabowo-Gibran sekitar 36%. Kemana yang 64% itu?
Baca juga:
Tony Rosyid: Berebut Anies Baswedan
|
Jadi, keyakinan akan satu putaran dengan kemenangan Prabowo-Gibran, gak ketemu logika dan gak ada dalil ilmiahnya. Apalagi, baik Prabowo maupun Gibran paling banyak melakukan blunder politik. Absen dari arena debat, di satu sisi memang dapat menyelamatkan keduanya. Tapi masyarakat lama kelamaan akan hilang simpatinya. Ini bisa membuat elektabilitas Prabowo-Gibran jeblok.
Terlihat sekali Prabowo dan Gibran ini menghindari adu gagasan. Bagaiman rakyat mau pilih mereka kalau gak muncul gagasannya. Bagaimana rakyat mau mengukur kecerdasan dan kemampuan kedua tokoh ini jika tidak ada gagasan yang bisa dibaca, dinilai dan diperdebatkan?
Saya akan ikut debat yang resmi, kata Gibran. Jawaban yang tidak masuk di akal dan terkesan mengada-ada. Justru dengan debat sebelum resmi di KPU, ada tiga keuntungan bagi Gibran. Juga bagi paslon-paslon lainnya. Pertama, debat pra KPU bisa jadi arena latihan. Jadi, Prabowo, khususnya Gibran tidak kaget ketika nanti masuk pada debat resmi di KPU. Lebih keras dan tajam. Ditonton oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Kedua, ini yang paling substansial. Latihan adu gagasan dapat menarik simpati rakyat jika gagasannya bagus. Ketiga, debat publik akan menjadi pendidikan politik buat rakyat. Rakyat akan mendapatkan suguhan demokrasi yang elegan dan bermutu. Kalau joget-joget, itu bukan sajian bermutu. Anak TK lebih jago kalau diajak joget.
Debat tidak hadir, elektabilitas kisaran 36%, bagaimana mau satu putaran menang? Kalau ada yang menuduh dan berasumsi bahwa Prabowo-Gibran bisa menggerakkan timsesnya dengan menggunakan kekuatan aparatur negara dan uang, maka tidak secara otomatis juga menaikkan elektabilitasnya.
Baca juga:
5 Alasan Mengapa Anies Harus Jadi Presiden
|
Kenapa elektabilitas Prabowo cuma kisaran 36%? Pertama, PDIP, partai pemenang pemilu yang sebelumnya dukung Jokowi di pilpres 2019, kini hengkang. Ajukan Ganjar dan justru menjadi rival Jokowi. Bahkan PDIP dan sejumlah kekuatan lain santer kabarnya sedang bergerilya untuk jatuhkan Jokowi. Seandainya betul, ini suatu hal yang tidak mudah.
Kedua, sejak Prabowo meninggalkan konstituennya dengan memilih gabung bersama Jokowi, maka para pendukung dan relawannya hengkang. Pergi meninggalkan Prabowo. Terutama dari basis keummatan. Mereka kecewa dan memilih lari dari Prabowo. Prabowo dianggap mengkhianati dukungan mereka.
Kekuatan dana dan besaran logistik yang sekarang dimiliki Prabowo nampaknya tidak cukup sukses menarik kembali dukungan dari kelompok umat. Mayoritas ulama dan kiai yang dulunya mendukung Prabowo justru beralih ke pasangan Anies-Cak Imin.
Ketiga, gelombang perlawanan dan kecaman terhadap Jokowi dan keluarga dari berbagai pihak semakin membesar. Terutama setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan Gibran menjadi cawapres. Rahasia istana mulai dibongkar satu persatu. Eks ketua KPK Agus Raharjo mengaku adanya intervensi Jokowi terhadap kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto. Mantan walikota FX Hadi Rudiyanto, juga membongkar pencalonan Gibran jadi Walikota Solo.
Ahok, Butet Kartaredjasa, Goenawan Muhammad dan Eros Djarot juga mulai mengecam politik dinasti Jokowi dengan sangat keras. Kemarahan mereka mulai tumpah.
Sejauhmana kedahsyatan isu terkait hasil bongkar-bongkar Jokowi dan keluarga? Yang pasti, ini akan sangat berpengaruh terhadap laju elektabilitas Prabowo-Gibran. Bisa jadi stagnan, atau malah akan turun. Secara logika, sulit membayangkan Prabowo-Gibran bisa menang jika pemilu berjalan secara sehat dan normal.
Makkah, 7 Desember 2023
Tony Rosyid*
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa